Kasus polisi diduga keroyok telanjangi pemuda menjadi semacam alarm keras bahwa kekuasaan tanpa pengawasan bisa melahirkan ketidakadilan.
Insiden yang terjadi di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan ini tak hanya menjadi buah bibir warga sekitar, tetapi juga viral hingga memicu desakan publik terhadap institusi penegak hukum.
Yang lebih mengejutkan, korban dalam video tersebut bukan hanya dipermalukan secara fisik dan psikologis, tetapi juga mengaku diperas hingga Rp15 juta oleh oknum aparat. Kasus ini sontak mengundang reaksi keras dari masyarakat sipil dan aktivis hak asasi manusia yang menuntut transparansi dan keadilan Info Kejadian Makassar.
Kronologi Kejadian
Peristiwa ini pertama kali mencuat ke publik setelah video berdurasi sekitar satu menit tersebar luas di berbagai platform media sosial. Dalam video itu, seorang pemuda tampak ditelanjangi di sebuah tempat gelap, dikelilingi sejumlah orang yang diduga anggota polisi. Ia terlihat dalam posisi terjepit dan hanya bisa menunduk tanpa daya.
Korban, yang diketahui berinisial R (23), mengaku telah dipukul dan diinterogasi secara paksa oleh sejumlah oknum polisi dengan alasan dugaan keterlibatannya dalam jaringan narkoba.
Namun, bukannya dibawa ke kantor polisi dan diproses secara resmi, ia justru diperlakukan tidak manusiawi dan diminta uang tebusan sebesar Rp15 juta agar bisa “dibebaskan” tanpa prosedur hukum.
“Awalnya saya cuma diajak ngobrol, tiba-tiba dibawa ke tempat gelap, lalu dipukul dan ditelanjangi. Mereka bilang kalau saya tidak mau masalah ini dibesar-besarkan, saya harus bayar Rp15 juta,” ujar R kepada media lokal.
Klarifikasi Pihak Kepolisian
Menanggapi kecaman publik, pihak kepolisian dari Polres Takalar pun akhirnya buka suara. Kapolres Takalar, AKBP Gotam Hidayat, dalam pernyataannya mengatakan bahwa pihaknya telah menerima laporan dan sedang melakukan penyelidikan internal.
“Kami tidak akan menutup-nutupi. Jika terbukti ada anggota kami yang menyalahgunakan wewenang, melakukan kekerasan, atau pemerasan, kami akan tindak tegas,” ujar AKBP Gotam.
Pihak Polda Sulsel juga mengkonfirmasi bahwa tim Propam (Profesi dan Pengamanan) telah diturunkan untuk menyelidiki kasus ini. Meski demikian, banyak pihak masih meragukan netralitas proses penyelidikan, mengingat pelaku adalah bagian dari institusi yang menyelidiki dirinya sendiri.
Baca Juga: Kasus Kosmetik Bermerkuri di Makassar, Agus Salim Ajukan Pledoi Tegas
Respon Warga dan Aktivis
Begitu video itu viral, reaksi keras langsung bermunculan dari berbagai kalangan. Warga Takalar sendiri mengaku sangat kecewa dengan perilaku aparat yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat. Sementara itu, sejumlah aktivis HAM dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar turun tangan dan menilai bahwa peristiwa ini tidak hanya melanggar kode etik, tetapi juga melanggar hukum pidana.
“Peristiwa ini jelas adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Tidak ada satupun prosedur penegakan hukum yang membenarkan kekerasan, apalagi pemalakan oleh aparat. Ini harus diusut sampai tuntas,” tegas perwakilan LBH Makassar dalam pernyataan resminya.
Desakan agar kasus ini dibuka secara terang-terangan pun menguat. Banyak yang menuntut agar pelaku dari institusi kepolisian segera diungkap dan dihukum sesuai peraturan yang berlaku.
Apa Selanjutnya?
Saat ini, publik menanti langkah nyata dari kepolisian. Tidak cukup hanya sekadar klarifikasi atau janji penegakan hukum. Masyarakat ingin kejelasan: siapa pelaku kekerasan, siapa yang meminta uang Rp15 juta, dan apa sanksi yang diberikan.
Di era digital seperti sekarang, kebenaran sulit ditutupi. Apa yang viral hari ini bisa menjadi pemantik reformasi, atau sebaliknya, menjadi bukti bahwa sistem hukum kita masih harus banyak berbenah.
Masyarakat Semakin Kehilangan Kepercayaan
Kasus seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, citra kepolisian di mata masyarakat sempat tercoreng akibat berbagai insiden kekerasan, penyalahgunaan wewenang, hingga dugaan pelanggaran etik.
Kejadian di Takalar ini seperti membuka kembali luka lama, dan memperkuat opini publik bahwa reformasi aparat penegak hukum masih berjalan di tempat. Alih-alih menjadi pengayom, aparat justru dianggap sebagai ancaman oleh sebagian masyarakat, khususnya kelompok marjinal.
Sosiolog dari Universitas Hasanuddin, Prof. M. Ridwan, menyebut bahwa kasus seperti ini menandakan perlunya pembenahan total terhadap sistem perekrutan, pelatihan etika, serta mekanisme pengawasan internal di tubuh kepolisian.
“Kalau tidak ada ketegasan dari pucuk pimpinan dan tidak ada transparansi proses hukum, masyarakat makin hilang kepercayaan. Dan itu bahaya untuk negara demokratis,” ujarnya.
Untuk informasi terkini dan lengkap mengenai berbagai kejadian penting di Makassar, termasuk insiden keamanan dan bencana alam, kalian bisa kunjungi Info Kejadian Makassar sekarang juga.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari rakyatsulsel.fajar.co.id
- Gambar Kedua dari sulsel.idntimes.com